Minggu, 30 Oktober 2011

Menuai Rahmat Bersama Bunda Maria

Dalam rangka memperingati bulan Maria di bulan Oktober 2011 ini, saya mengisinya dengan mengikuti Ziarek bersama KSK Widiakarya yang diadakan pada tanggal 28 - 30 Oktober 2011, dengan tujuan Goa Maria Sawer Rahmat, yang berlokasi di Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.

Saat teman saya menginformasikan mengenai acara ziarek ini, saya langsung mencari informasi mengenai medan perjalanan menuju Goa Maria Sawer Rahmat agar saya dapat mengatasi keterbatasan fisik saya.
Setelah informasi lengkap saya dapatkan, maka saya memutuskan untuk mengikuti ziarek ini.

Beberapa hari menjelang keberangkatan, saya mendapat informasi dari teman yang berada di daerah Cirebon bahwa daerah tersebut sangat sering hujan, dan teman saya menyarankan untuk membawa payung.
Dengan yakin dan percaya saya katakan "Tidak akan turun hujan selama acara ziarek berlangsung, Tuhan akan senantiasa memberikan cuaca cerah selama ziarek ini."
Dalam hati saya ragu juga dengan ucapan saya, di musim hujan mana mungkin cuaca cerah, tapi untuk menguatkan hati saya maka ucapan itu saya keluarkan dan menjadi ujud doa saya beberapa hari sebelum ziarek.

Sehari sebelum ziarek berlangsung, ujud doa saya bertambah lagi "Tuhan, jaga aku agar aku tidak terjatuh ya. Tuhan tau kan mataku kurang bagus, jangan sampai selama ziarek ini aku terjatuh."

Detik keberangkatan semakin dekat.
Jumat 28 Oktober 2011, hujan deras terus mengguyur Jakarta. Dengan harapan atau iman lah (saya sudah tidak dapat lagi membedakannya karena panik mendera saya) saya yakin dan percaya bahwa doa saya akan Tuhan jawab yaitu "Tuhan akan memberikan cuaca cerah dan hari yang panas untuk menemani acara ziarek ini"
Tepat saat saya menginjakan kaki di Gereja St Theresia pada pukul 20.00 hujan berhenti, dan saya sungguh tidak terkena satu tetes air hujanpun tepat sesaat saya siap memulai acara ziarek ini.

Perjalanan menuju Kuningan dimulai. Setelah kami naik ke dalam bus yang akan mengantarkan kami ke lokasi ziarek, panitia mengadakan doa Rosario bersama. Saya tidak pernah menyukai doa Rosario, sepanjang doa Rosario berlangsung, saya hanya berdoa "Tuhan, berikan cuaca yang cerah, jaga saya agar saya tidak terjatuh, saya sungguh takut melalui semuanya ini, tapi saya sungguh ingin mendapat rahmatMu dalam acara ini. Bunda Maria, mohonkan kepada PutraMu untuk mengabulkan doaku ini, Amin"
Doa singkat ini menemani perjalanan saya, dan senantiasa saya ucapkan di kala cemas itu melanda saya.

Sabtu 29 Oktober 2011, kami tiba di Kuningan, dan pada pukul 05.00 kami sampai di lokasi penginapan yaitu rumah salah satu umat Gereja Maria Putri Murni Sejati. Sambutan hangat suster, pemilik rumah dan beberapa ibu WKRI tersebut cukup mampu mengusir lelah saya setelah semalaman berisitirahat di bus.
Sempat terbersit ucapan syukur dalam hati saya "Terima kasih Tuhan, akhirnya naik ke Goa Maria tidak dalam keadaan gelap sehingga saya dapat berjalan dengan aman"
Setelah beberes seadanya maka perjalanan dilanjutkan menuju Goa Maria.

Peserta ziarek diturunkan di tepian jalan dimana kiri kanan jalan tersebut penuh dengan tanaman, dan sungguh indah pemandangan tersebut ditemani dengan segarnya udara pagi.
Perjalanan menuju Goa Maria pun dimulai.
Perjalanan yang awalnya tidak terasa berat karena hanya memalui jalan setapak yang datar, lama kelamaan berubah menjadi medan yang penuh tantangan karena kami harus menaikin banyak anak tangga.
Kelokan demi kelokan, lahan datar demi lahan datar memberikan harapan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di Goa Maria, ternyata hanya harapan saja karena perjalanan itu sungguh jauh dan melelahkan ditambah dengan kondisi badan yang sama sekali tidak beristirahat dengan sempurna semalaman.

Dalam perjalanan tersebut, diisi dengan rosario yang saya tidak mengetahui urutannya karena saya dan beberapa teman sempat tertinggal akibat ada kecelakaan kecil yang terjadi pada teman saya.
Akhirnya giliran saya memimpin satu manik Salam Maria, dengan nafas yang lumayan tidak beraturan saya mampu menyelesaikan satu manik Salam Maria.
Perjalanan ke Goa Maria masi berlanjut, dan tak lama kemudian saya melihat banyak tempat duduk. Lumayan pkir saya karena saya dapat beristirahat sejenak sebelum perjalanan dilanjutkan.
Tak lama setelah beristirahat sejenak, panitia mengajak kami ke pendopo, dimana pendopo tersebut kadang kala digunakan sebagai tempat misa, dan disanalah kami melakukan ibadat dan renungan pagi.

Setelah selesai ibadan dan renungan pagi, maka kami kembali ke lokasi tempat duduk tersebut. Dalam perjalanan menuju tempat duduk tersebut, salah seorang teman saya sempat meminta agar saya membantunya mengambilkan gambar. Tanpa saya sadari, saya mundur terlalu jauh dan saya tidak menyadari bahwa ada anak tangga di belakang saya, Untung saya tidak terjatuh. Pada saat itu hanya ucapan "sukur gw ga jatoh" keluar dari mulut saya, tapi saat saya menuliskan ini barulah saya menyadari bahwa doa saya terjawab yaitu "Tuhan jaga saya agar saya tidak terjatuh selama perjalanan ziarek berlangsung" dan setelah saya mengingat kejadian itu kembali, saya merasakan saat itu ada lengan yang menjaga di punggung saya sehingga saya tidak terjatuh dan juga kaki saya tidak terkilir sama sekali.

Setelah mengambil beberapa gambar, kami menuju ke lokasi yang banyak kursi tersebut, dan saya baru menyadari bahwa di atas batu-batuan itulah terdapat patung Bunda Maria.
Wah, lokasi Goa Maria nya sungguh tinggi. Keraguan sempat melanda saya "Apa saya mampu naik kesana ? Kalau saya mampu, bagaimana nanti saya dapat turun ? Masa iya cuma turun aja minta dituntun ? Memalukan sekali."
Namun dorongan kuat untuk melihat dan berdoa di Goa Maria itu sungguh besar, dan mampu mengalahkan ketakutan saya.

Dengan langkah pelan saya naik menuju Goa Maria, dan saat tiba di muka patung Bunda Maria, tantangan lain menanti saya. Saya tidak mendapatkan dingklik, loh gimana ni cara berdoa ga pake dingklik, duduk di pelataran goa bukan menjadi pilihan saya mengingat keterbatasan pakaian yang saya bawa. Salah seorang sahabat menawarkan agar memakai dingklik kecil itu berdua dengannya. Sekali lagi ucapan syukur terlontar dalam hati "Makasi Tuhan, bisa doa deh, berkati sahabat saya ini"

Kemudian saya melanjutkan ritual saat saya di hadapan Bunda Maria, buat tanda kemenangan, pejamkan mata, berdoa, amin, buka mata dan melihat lokasi sekitar Goa Maria. Wow...apa yang istimewa dari patung ini ya ? Muka patung tersebut saya lihat sungguh keras dan tidak bersahabat, kemudian saya melihat dinding goa, bunga persembahan dan tak lama kemudian saya turun perlahan, mengisi air untuk seorang sahabat, dan menantikan teman-teman lainnya selesai berdoa agar saya dapat berjalan bersama mereka sewaktu menuruni medan ini.

Perjalanan menuruni medan bukanlah hal yang mudah.
Sewaktu pergi, tantangan saya adalah tenaga yang habis karena mendaki yang begitu panjang dan tinggi.
Tantangan sewaktu pulang adalah medan yang menurun. Walaupun menuruni ratusan anak tangga itu sangatlah mudah, namun bagi saya itu sangatlah memakan tenaga, karena saya memiliki trauma akibat pernah terjatuh dari bukit sewaktu ziarah makam di Padang. Trauma itu selalu terbawa saat saya harus menuruni apapun juga. Akhirnya dengan perlahan saya berhasil menuruni medan tersebut tentunya dengan bantuan beberapa teman yang dengan suka rela menemani saya berjalan lambat.

Sesampai di rumah umat tempat kami akan bermalam, maka kami membersihkan diri, sarapan, dan mempersiapkan diri untuk mengikuti acara selanjutnya.
Selesai membersihkan diri, saya dan beberapa teman berjalan menuju susteran untuk mengambil barang yang tertinggal di bus. Ternyata oleh Ronald, salah seorang panitia, kami dibawa menuju Gereja Maria Putri Murni Sejati yang ada di lokasi susteran tersebut.
Di sana sedang diadakan bazar Hari Pangan, dan kami pun sejenak berbelanja di sana. Setelah berbelanja, kami memasuki Gereja Maria Putri Murni Sejati.
Gereja ini sangat sederhana namun memiliki kesan hangat di hati saya, dimana saya merasa sangat tidak asing dengan gereja ini. Oleh Ester, salah seorang panitia, dijelaskan bahwa gereja tersebut pernah terbakar, dan salib yang ikut terbakar pun hingga saat ini tetap dipasang di dekat Tabernakel.
Sejenak saya berdoa, entah kemana saya harus berdoa saya tidak memperhatikan. Satu tujuan saya saat itu adalah hendak berdiam diri di hadapan Allah. Dalam hening itu, kembali kecemasan saya muncul dan kembali saya memohon agar Tuhan menjaga saya agar saya tidak terjatuh dalam acara Ziarek itu. Keluar dari Gereja, saya melihat ada Goa Maria yang sangat sederhana, namun Goa Maria itu memunculkan kerinduan dalam hati kecil saya untuk berdoa sejenak dan kembali doa yang saya saya panjatkan. Saat menulis ini, saya baru tersadar "Apakah sedemikian takutnya saya saat itu ya ?" Ya, saya sungguh takut saat itu, cemas dan kuatir jika saya sampai terjatuh, maka saya akan merepotkan orang lain dan membuat mama saya kuatir.

Kemudian acara dimulai dengan permainan dalam kelompok, makan siang, penjelasan dan permainan yang dibawakan oleh suster Rita (ursulin) dan saatnya istirahat dan mandi sore pun tiba.
Dalam waktu tersebut saya dan beberapa teman berjalan kembali ke susteran guna mencari lilin untuk keperluan jalan salib yang akan diadakan malam itu. Setelah lilin didapatkan maka saya mengajak teman saya untuk melihat Gereja itu lagi. Entah mengapa, saya sangat merindukan untuk kembali berdoa di Goa Maria yang ada di dalam lokasi Gereja tersebut. Kemudian hal yang sama saya mohonkan kepada Bunda Maria, tentu saya ada permohonan lainnya yaitu agar Tuhan senantiasa memberikan kesehatan, kebahagiaan dan kecukupan pada mama saya, melindungi keluarga saya, menyembuhkan mata saya dan yang terakhir adalah agar saya diberikan seorang pendamping yang sesuai.
Ketenangan melanda hati saya, lega rasanya setelah mampu mengutarakan segala beban tersebut kepada Bunda Maria, tetapi langkah kaki saya belum lah ingin kembali, belumlah ingin menikmati waktu istirahat yang disediakan itu. Kaki saya melangkah masuk ke dalam Gereja. Dengan keheningan dan ketenangan yang saya kagumi saat itu, saya melangkah masuk ke dalam Gereja, mengambil tempat di posisi tengah tepat di depan altar.
Duduk diam, termenung, bercakap sejenak dengan Tuhan dengan doa yang sama, hening, menangis, kagum akan rencanaNya yang ada dalam hidupku. Lega hati saya setelah semuanya mampu saya ungkapkan dalam doa di sore hari itu. Kemudian langkah saya tetap tidak ingin meninggalkan lokasi Gereja tersebut.

Saya maju ke hadapan tabernakel, memandang sejenak, namun kerinduan hati saya tertuju pada salib hitam legam yang pernah terbakar itu. Perlahan dan ragu saya mendekat, saat itu yang ada dalam pikiran saya adalah "Bagaimana kalau ada orang lewat dan berpikir saya mau bom gereja ?" Keraguan itu sempat hinggap, namun keinginan kuat saya untuk mendekat mengalahkan ragu itu. Saya mendekati salib hitam legam tersebut, dan saya kagum karena salib itu murni dari kayu menurut penglihatan saya, bagaimana salib itu tidak terbakar habis ya, Tuhan sungguh besar kuasaMu bila Engkau berkehnedak.

Selesai mengagumi salib hitam legam tersebut, saya menghampiri teman saya, dan kami pun berjalan pulang ke rumah umat.
Selesai mandi sore, maka kami semua ke Gereja Stasi St Carolus Boromeus yang ada di Sukamulya, Kuningan untuk mengikuti misa di sore hari itu. Saat memasuki Gereja, hal pertama yang menarik saya adalah bangunan gereja yang kecil namun bersahaja, ditambah dengan umat yang hangat bersahabat menyambut kedatangan kami.
Misa sore hari itu dipersembahkan oleh Romo Abu. Beberapa kali sahabat saya di Cirebon mengatakan bahwa Romo Abu adalah romo yang luar biasa, namun saya lebih terkagum dengan Salib besar yang ada di atas Tabernakel, sungguh indah dipadu dengan dindingnya dan patung Bunda Maria serta patung Yesus. Semua itu menjadi hiburan bagi mata saya sejenak.
Saat misa, suasana kekeluargaaan dan kehangatan makin dapat dirasa, dengan cara pemberian persembahan dimana umat satu per satu maju ke hadapan altar dan meletakan persembahan mereka pribadi kepada Tuhan.
Ya Tuhan, umatMu ini sungguh rendah hati, dari kekurangan mereka mampu mempersembahkan yang terbaik kagumku dalam hati.

Selesai misa, seorang bapak menyapa saya "Jam berapa mba mau mulai ziarek nya ? " tanya nya ramah.
Saya menghentikan langkah dan melihat kepadanya, senyuman tulus dan hangat terpancar dari raut wajah sederhananya "Oh, sudah mulai dari tadi subuh pak, jam 5 kami sudah rosario ke Goa Maria, tapi nanti jam 10 malam akan jalan salib ke sana lagi."
Sang bapak berkata "Oh ya, selamat berziarah mba, Tuhan memberkati sepanjang ziarah ini."
Wah, sang bapak ini betul-betul baik pikirku karena seorang asing mau menyapa dengan bersahabat, dan mendoakanku. Tuhan, berkati umat di gerejamu ini, doa singkatku sebelum meninggalkan gereja tersebut.

Kemudian kami menikmati makan malam yang telah disediakan ibu-ibu WKRI di rumah umat (Ibu Een) yang kami tempati tersebut. Lauk sederhana, tapi jika disajikan dengan hati sungguh nikmat rasanya, ditambah dengan suasana akrab dan kekeluargaan dari seluruh panitia dan peserta benar-benar menjadi acara malam minggu yang indah sekali.

Selesai makan malam, acara selanjutnya dibawakan suster Rita, dengan memberikan banyak penjelasan dan hal lain yang berguna bagi kami, dan sejujurnya saya sangat terkantuk-kantuk dan tidak memperhatikan acara tersebut, tapi satu kekawatiran saya yaitu malam ini akan jalan salib, bagaimana ini kalau hujan ?

Selesai acara, maka kami mempersiapkan diri untuk mengikuti jalan salib.
Sempat ragu di hati saya, apakah saya tinggal saja dan mengaku sakit pada panitia supaya tidak perlu mengikuti jalan salib ? Namun satu suara lagi berkata kalau saya mengaku sakit sungguh saya melewatkan satu kesempatan indah, dan untuk apa saya datang jauh-jauh dari Jakarta jika hanya ingin bermalam saja ?
Perang dalam hati saya di mulai. Pikiran pertama berkata mengaku sakit saja agar saya ga perlu repot berjalan dalam kegelapan, dan nanti kalau saya terjatuh bagaimana ? Tepat pada saat pikiran saya sedang berdebat, Steven salah satu panitia menghampiri dan bertanya "Semua ikut jalan salib ?" dan dengan reflek saya menjawab "Kalau saya ketinggalan, saya akan ditinggal atau ditungguin ?" Spontan saya menyesal dengan pertanyaan itu, karena menurut saya pertanyaan itu sungguh tidaklah sopan dan dapat melukai hati orang. Steven menjawab "Ya ga mungkin kita tinggalin dong, pasti kita tungguin"
Lega hati saya mendengar jawaban itu, dan saya pun mempersiapkan diri untuk mengikuti jalan salib itu. Senter sebagai penerang jalan, payung tongkat sebagai tongkat, jaket dan lilin sudah dipersiapkan dengan baik. Sebelum keluar saya kembali berdoa "Tuhan jaga saya agar saya tidak terjatuh"

Jalan salib pun dimulai. Wow....luar biasa gelap. Bagaimana saya dapat melihat ? Dengan senter pun cahaya yang ada tidak lah mampu menghalau gelap ini. Dengan perlahan saya berjalan dalam rombongan, namun karena keterbatasan penglihatan saya, semakin lama saya semakin tertinggal, terlebih saya sangat takut kala melewati jalan setapak yang tidak terdapat anak tangga dan hanya ada batu dan tanah saja. Pelan dan sangat lambat saya melangkah dan payung tersebut saya manfaatkan sebaiknya agar dapat menopang ketakutan saya.

Setiba di lahan datar, Steven menghampiri saya dan berkata "Berjalan di tengah agar tidak tertinggal" Saya mengikuti saran tersebut, tapi saya kembali tertinggal, namun akhirnya saya dapat tiba di Taman Getsemani.
Di Taman Getsemani itu, suster Rita kembali membawakan renungan malam, dan prosesi lilin sebagai wujud hidup yang dipersembahkan. Kemudian saya menyalakan lilin dan berkata "Tuhan, ini hidup saya, saya persembahkan hidup saya ini, pakailah seturut rencanaMu. Hidupku bukanlah aku lagi, melainkan rencanaMu"
Selesai menyalakan lilin kami kembali berjalan. Dan terdengar Steven berkata ke Ronald "Tolong dampingi terus" Lega juga hati saya karena saya betul-betul tidak ditinggalkan selama perjalanan dari Taman Getsemani menuju perhentian pertama dan perhentian selanjutnya, dan sepanjang perjalanan tersebut, bergantian Ronald, Ester mendampingi saya, dan kemudian Dyan dan Muliawan pun bergantian berjalan di sisi saya.

Saya memang tidak dapat mengikuti prosesi jalan salib secara sempurna karena tiap kala doa jalan salib dipanjatkan saya tidak dapat berdoa bersama, dan saya hanya dapat bersyukur dalam hati "Tuhan terima kasih untuk pengorbananMu di kayu salib, dan atas keajaiban dalam hidupku" Di saat lainnya saya berdoa "Tuhan terima kasih atas penjagaanMu" Dan di perhentian yang lainnya saya berdoa untuk hal-hal lain yang melintas dalam pikiran saya.

Selesai prosesi jalan salib, kami berkumpul di pelataran Goa Maria, menanti giliran untuk dapat berdoa rosario bersama karena pada saat itu ada kelompok lain yang sedang berdoa rosario.

Setelah kelompok tersebut selesai berdoa rosario, kami pun berkumpul bersama untuk berdoa rosario. Sempat ragu melintas lagi dalam pikiran saya untuk tidak mengikuti doa rosario itu karena saya kembali harus menaiki banyak anak tangga yang nantinya harus saya turuni kembali dengan susah payah, tetapi kerinduan untuk hadir di hadapan Bunda Maria lebih kuat dan mengalahkan ketakutan saya itu.

Dalam doa rosario itu, kembali saya panjatkan doa seperti doa yang saya panjatkan sewaktu di Goa Maria di Gereja Maria Putri Murni Sejati. Ada penjelasan yang pernah saya dengar yang mengatakan jika kamu ingin doamu dikabulkan maka berjanjilah kamu akan melakukan sesuatu setelah doamu dikabulkan, ntah kamu akan mencetak buku, atau apapun yang kamu rasa mampu, tetapi saya tidak berani menjanjikan apapun karena saya takut saya tidak sanggup menepati janji saya itu, akhirnya saya berkata jika doa saya ini dikabulkan maka saya akan bersyukur kepadaMu ya Tuhan.

Demikianlah ziarah saya ke Goa Maria Sawer Rahmat. .
































 Inti dari ziarah ku kali ini adalah

Tuhan tidak pernah menutup telinganya terhadap setiap doa-doa kita
Tuhan tidak pernah bosan mendengar keluh kesah hati kita
Tuhan tidak pernah meninggalkan kita sedetikpun

Dalam kelemahan kita, kuasa Tuhan menjadi nyata
Dalam kepasrahan kita, tangan Tuhan bekerja luar biasa
Dalam keputus asaan kita, karya Tuhan menjadi indah

Saat ku lemah, ku kan berseru "Tuhan, berikan aku kekuatan, agar aku mampu berjalan terus sesuai rencanaMu"
Saat ku takut, ku kan berkata "Tuhan, aku takut, tolong aku, aku sungguh takut, berikan aku keberanian untuk melangkah ya Tuhan, pegang tanganku agar aku tahu bahwa kau senantiasa ada di sampingku"
Saat ku pasrah, ku kan berteriak "Tuhan kenapa begini, kenapa yang aku lakukan tidak ada yang berhasil dan semua sia-sia. Tuhan, terserah lah Kau mau apa dalam hidupku, satu yang kupercaya apapun yang Kau lakukan itu indah bagiku, baik bagiku"

Doaku memang belum terjawab semuanya, tapi dengan ziarek ini, imanku kembali dihidupkan.
Keyakinan bahwa kasih masih ada,
Keyakinan bahwa doaku tidak akan pernah tidak didengarkan Tuhan,
Keyakinan bahwa Tuhan akan menjawab doaku tepat pada waktuNya
Keyakinan bahwa yang aku butuhkanlah yang akan Tuhan berikan, nyata dalam hal hujan dan jatuh, memang itu yang aku butuhkan dan memang itu yang Dia berikan. Bukan sakit yang Dia berikan agar aku tidak terjatuh, tapi topangan kasih, perhatian dan tangan dari orang sekelilingku yang diberikanNya agar aku tidak terjatuh.

Tuhan, terima kasih untuk satu pengalaman kasih yang telah Kau kembali nyatakan dalam hidupku lewat ziarek ini.

Salam kasih,
- L i s e -